Alasan Mengapa Kita Perlu Memaklumi Kejengkelan Pakdhe Indro

Warkop DKI (Kasino – Dono – Indro)

Belakangan sedang ramai perbincangan mengenai kisruh antara Indro; personel dari grup komedi Warkop DKI, dengan sekelompok anak muda yang kebetulan ‘mirip’ dengan mereka (Warkop DKI).

Anak muda yang menamai diri mereka dengan nama “Warkopi” ini disebut-sebut telah melanggar HaKI (Hak atas Kekayaan Intelektual) milik Warkop DKI. Mereka diduga telah dengan secara sadar membangun image dari bayang-bayang kebesaran Warkop DKI dan telah menerima berbagai macam tawaran kerja baik itu secara off air maupun tampil secara langsung di layar kaca televisi. Indro juga menyebut bahwa mereka sama sekali belum meminta izin atau kulo nuwun terlebih dahulu mengenai pembentukan dari ‘grup’ tersebut, yang semakin menambah pelik permasalahan ini.

HaKI sendiri serupa dengan Hak Cipta yang mana merupakan hak eksklusif yang diberikan kepada seorang pencipta dari sebuah karya atau ide untuk dapat membatasi penggandaan atas karyanya secara tidak sah oleh orang atau siapa pun juga yang tanpa seizinnya. Dengan demikian, dapat dimaknai bahwa setiap bentuk penggandaan produk hak cipta yang tanpa izin ataupun otorisasi dari si pemegang hak cipta tersebut akan dapat dianggap sebagai sebuah pelanggaran hukum.

Tindakan Warkopi yang secara terang-terangan meniru, membuat konten, bahkan membentuk sebuah grup dengan image dan nama yang hampir serupa untuk sebuah tujuan komersil jelas termasuk ke dalam pelanggaran yang dimaksud di atas. Yang tak pelak membuat banyak pihak termasuk Pakdhe Indro sendiri merasa geram.

Plagiarisme sendiri bukan barang baru dewasa ini, sudah sangat banyak contoh dari mereka-mereka yang melakukan tindak penjiplakan/meniru sebuah karya di berbagai belahan dunia. Namun sekali lagi, yang menjadi permasalahan di sini adalah sikap dari pihak Warkopi yang dengan tanpa permisi telah menggunakan image dari Warkop DKI untuk dikomersialisasi, bukan pada ‘kemiripan’ wajah mereka. Yang mana ini tentu sesuatu yang salah, apalagi jika kita membicarakan soal ‘etika’ dalam berkesenian.

Lagipula, saya agak sangsi dengan eksistensi mereka di dunia hiburan nantinya jika hanya bermodalkan meniru dan ‘mengekor’ di balik nama besar Warkop DKI. Belum lagi nama besar Warkop DKI yang jelas akan membebani mereka sendiri nantinya, yang justru malah bisa menjadi bumerang buat mereka ke depannya, pun Warkop DKI itu sendiri.

Ini serius lho, membawa nama besar Warkop DKI itu nggak gampang, sulit, berat, kamu nggak akan kuat, biar Pakdhe Indro sajaaah. ~

Lha wong Warkop DKI terkenal dengan image-nya yang akademis; diisi sama orang-orang pinter, lawakan-lawakan yang cerdas dan sangat ‘multikultural’, berwarna, dan sering mengangkat isu-isu sosial dan budaya masyarakat kita dalam kehidupan sehari-hari. Belum lagi sikap mereka yang kerap menyentil kebijakan-kebijakan dari rezim penguasa waktu itu. Sebuah image yang cukup ‘sangar’ untuk ukuran ‘grup lawak’.

Kasino dan para mahasiswa UI dalam rapat konsolidasi yang di kemudian hari bakal pecah menjadi peristiwa demonstrasi besar mahasiswa 1974

Warkop DKI sendiri memiliki sejarah yang panjang dalam proses pembentukannya. Didirikan oleh para mantan Aktivis Malari 74, yaitu Kasino, Nanu Mulyono, dan Rudy Badil. Ya benar, Rudy Badil, seseorang yang juga sahabat dari Soe Hok Gie; si manusia idealis nan merdeka itu. Beliau juga termasuk orang yang ikut menemani Gie dalam ekspedisi terakhirnya ke Puncak Mahameru 1969.

Pasca peristiwa Malari 1974, demokrasi Indonesia mati suri. Ruang gerak mahasiswa semakin dibatasi, rezim Orde Baru pun kian otoriter, yang membuat banyak dari mereka yang ‘kontra’ akan pemerintahan Soeharto pun akhirnya memilih jalan lain dalam misi perjuangannya. Ada yang ‘melawan’ lewat musik, puisi, tulisan, lukisan, bahkan dalam dunia seni peran.

Ini pula yang mendasari Kasino, Nanu Mulyono, dan Rudy Badil untuk mendirikan Warkop DKI pada waktu itu. Maka tak pelak jika dalam perjalanannya Warkop DKI kerap menyentil dan mengkritisi kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Soeharto dengan humor-humor ‘protester’ dan komedi satire sebagai bentuk dari ‘perlawanan’ mereka.

“Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang.” Adalah satu dari sekian banyak tagline mereka yang paling terkenal, yang sangat kental dengan nada sinisme terhadap rezim Orde Baru di dalamnya. Pemilihan nama “Warkop DKI” juga merupakan bentuk sindiran terhadap rezim kala itu yang dikenal totaliter dan amat mengekang rakyatnya dalam berekspresi sehingga menyebabkan matinya demokrasi kita.

Sebab pada waktu itu, hanya di warung kopilah demokrasi masih terjadi pun api perlawanan itu masih menyala. Maka dari sinilah kemudian inspirasi nama itu muncul. Ya mirip-mirip seperti sejarah Revolusi Perancis yang berawal dari kedai kopi pada tahun 1799 silam.

Pakdhe Indro dalam wawancaranya dengan Human On Wheels, menyebut bahwa sikap kritis mereka ini pulalah yang di kemudian hari menyebabkan mereka menjadi sering mendapatkan ancaman dari pihak-pihak yang tak suka dengan cara mereka dalam berkesenian. Gangguan-gangguan dari preman-preman ‘suruhan’ pun kerap mereka dapatkan di berbagai lokasi. Namun hal tersebut tetap tak mampu mengurangi pun menghilangkan semangat dan misi yang mereka bawa untuk tetap dan terus menyentil praktik-praktik yang dianggap keliru yang dilakukan oleh penguasa waktu itu.

Oleh sebab itu, berangkat dari sejarahnya yang panjang dan berliku inilah saya merasa Pakdhe Indro berhak untuk mencak-mencak ketika ada pihak lain yang dengan/tanpa sengaja menyalahgunakan “warisan” dari kekayaan intelektual mereka di masa lalu. Karena sebagai satu-satunya personel Warkop DKI yang tersisa, sudah barang tentu menjadi kewajiban bagi Pakdhe Indro untuk menjaga “warisan” dan “sikap” dari para sahabatnya di masa lalu tersebut.

Ya semoga saja masalah ini bisa cepat terselesaikan dan tidak semakin berlarut-larut. Dan semoga pihak dari Warkopi juga mau beritikad baik dan meminta maaf kepada pihak yang merasa dirugikan, dalam hal ini Pakdhe Indro dan keluarga besar dari Warkop DKI.

Toh mereka masih muda, jalan mereka masih panjang, masih sangat banyak cara untuk mereka bisa terkenal dan ‘survive‘ di industri hiburan tanpa harus menggunakan embel-embel dari Warkop DKI.

Kasihan lho Pakdhe Indro, sebagai informasi, beliau sama sekali tidak mendapatkan royalti sepeser pun dari tayangan-tayangan maupun film Warkop DKI yang masih kerap diputar di TV nasional sampai hari ini. Maka dari itu, yuk kita hargai beliau dan para sahabatnya tersebut dengan tidak menyalahgunakan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) yang telah mereka bangun sedari dulu.

Sebab bangsa yang besar adalah bangsa yang mengerti sejarah, dan bangsa yang maju adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Lebih jauh lagi, bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menertawai dirinya sendiri.

Ngomong-ngomong, rezim yang sekarang nggak suka ngelarang-ngelarang kan?


Nooongkrong di warung kopiii
Nyeeentil sana dan siniii
Seeekedar suara rakyaaat keciiil
Buuukannya mau usiiil


Leave a comment