Ciharus yang Kian Tergerus: Cabut SK 25 KLHK! Cagar Alam Harga Mati!

Aksi unjuk rasa menolak diturunkannya status dari Cagar Alam Kamojang dan Cagar Alam Gunung Papandayan

Setelah sekian lama menanti kejelasan perihal status Surat Keputusan (SK) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait Cagar Alam Kamojang & Cagar Alam Gunung Papandayan 2018 lalu, Aliansi Cagar Alam Jawa Barat kali ini memutuskan untuk terjun langsung menuntut kejelasan dari SK yang digadang-gadang menjadi penyebab dari ketidakadilan dan kerusakan lingkungan yang dialami dan dirasakan oleh masyarakat di sekitaran lokasi Cagar Alam Kamojang dan Papandayan.

Ciharus, yang termasuk ke dalam wilayah terdampak, menjadi salah satu fokus utama mereka. Penggundulan hutan dan penambangan liar di sekitar wilayah Cagar Alam Kamojang dan Papandayan, kerap menyebabkan banjir bandang dan tanah longsor yang langsung berdampak kepada masyarakat. Belum lagi persoalan mengenai perkebunan warga, perebutan lahan dengan pihak swasta, objek wisata yang sebelumnya menjadi mata pencaharian mereka, hingga birokrasi ala-ala tentang perizinan dan lain sebagainya yang malah semakin mempersulit ruang gerak masyarakat untuk bisa hidup di tanah moyangnya, menjadikan persoalan ini sangat penting untuk diperjuangkan bersama.

Sebagaimana diketahui sebelumnya, KLHK selaku institusi yang bertanggung jawab, pada 2018 lalu memutuskan untuk menurunkan status Cagar Alam Kamojang menjadi Taman Wisata Alam. Hal ini tak ayal mengundang kemarahan dari berbagai pihak, mulai dari masyarakat terdampak, pegiat alam dan lingkungan, seniman, sampai dengan aktivis kemanusiaan beramai-ramai menyerukan penolakan.

Tertulis dalam surat keputusan tersebut:

“mengubah fungsi dalam fungsi pokok kawasan hutan dari sebagian kawasan Cagar Alam Kawah Kamojang seluas +- 2.391 hektar, dan Cagar Alam Gunung Papandayan seluas +- 1.991 hektar menjadi Taman Wisata Alam, yang terletak di Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat.”

Sejumlah aksi pun terjadi selama kurun waktu itu, namun tak juga membuat KLHK merespon apa yang menjadi tuntutan dari para korban terdampak. Hingga akhirnya kali ini, para relawan dan pegiat alam secara beramai-ramai memutuskan untuk datang langsung ke kandang lawan. Dan tidak dengan menggunakan cara yang konvensional, namun dengan berjalan kaki dari Bandung ke Jakarta. Ya benar, berjalan kaki!

Seruan aksi pun menggaung di dunia maya, media cetak dan elektronik turut andil menyebarkan berita perihal rencana kedatangan mereka ke Jakarta yang rencananya akan dilakukan selama tiga hari dengan menempuh jarak hampir 150 km.

Adalah Kidung Saujana, seorang pegiat alam, pejalan, penulis, aktivis kemanusiaan, dan juga musisi indie yang bakal menjadi pucuk komando dari perjalanan panjang ini. Ditetapkanlah tanggal 3 Maret 2019 sebagai hari keberangkatan mereka.

Mendengar hal itu, aksi simpatik pun bermunculan dari berbagai tempat, terlebih di kota-kota yang bakal disinggahi oleh rombongan dari Bandung tersebut. Banyak dari gerakan solidaritas pejalan yang tiba-tiba terbentuk dengan maksud ikut mengawal dan bergabung ke dalam barisan nantinya. Bekasi bergerak, Depok bersatu, Cianjur melawan, Majalaya menolak, adalah sedikit dari sekian banyak nama-nama kelompok yang memutuskan untuk bergabung menuju ke kantor Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta.

Mengetahui itu, saya pun ikut terbakar dan ingin segera bergabung ke dalam barisan, rasa solidaritas dan kekhawatiran saya terhadap keputusan alih fungsi status Cagar Alam yang diambil oleh KLHK menjadi salah satu alasan saya untuk ikut mengawal kawan-kawan dari Bandung ke depan kantor KLHK di Jakarta.

Tepat pada tanggal 3 Maret 2019, diiringi suasana haru dan sanak famili yang ikut mengantar keberangkatan mereka, kawan-kawan pejalan pun mulai bergerak meninggalkan Bandung.

Hari demi hari, saya pantau selalu pergerakan dari rombongan yang sedang melakukan long march dari Bandung ke Jakarta tersebut melalui sosial media. Sudah sampai manakah kiranya mereka? bagaimana dengan logistiknya? Di manakah mereka bernaung ketika malam tiba? Kira-kira pertanyaan semacam itulah yang muncul di pikiran saya.

Alhamdulillah, ternyata banyak dari masyarakat dan pegiat alam yang ikut bersimpati kepada mereka di sepanjang perjalanan setelah mengetahui niatan mereka pergi ke Jakarta. Ada yang memberikan makanan, minuman, menawarkan rumahnya untuk dijadikan shelter sementara, bahkan ada salah satu komunitas motor trail yang mengawal dan mengiringi mereka selama perjalanan di beberapa kota. Saya tersenyum, terbayang betapa luar biasanya kekuatan cinta yang mampu menggerakkan orang-orang untuk menjadi lebih peduli dan saling memahami. Ah, andai dunia selalu seperti ini.

Di tanggal 5 Maret, rombongan telah sampai di Bekasi. Dari update terbaru yang saya dapatkan di media sosial Instagram, serta melihat dari jumlah rombongan yang sekarang, saya bisa menebak bahwa telah banyak kelompok-kelompok lain yang bergabung dengan mereka saat ini. Setelah beristirahat sejenak dan beramah-tamah sekaligus bersilaturahmi dengan teman-teman pejalan yang sengaja datang dan berkumpul di Gedung Juang 45 di daerah Tambun, rombongan pun melanjutkan perjalanannya. Mereka menargetkan untuk bermalam di gedung KLHK wilayah Jakarta Timur, sebelum keesokan harinya pergi menuju gedung utama KLHK di sekitaran Senayan, Jakarta Pusat.

Sehabis maghrib, sepulang kerja, saya putuskan untuk meninggalkan kelas sore perkuliahan saya dan segera meluncur ke gedung KLHK Jakarta Timur. Setelah sebelumnya berdiskusi dengan Korek, salah satu teman di dunia kependakian saya yang sudah lumayan lama tak berjumpa, kami pun sepakat untuk saling bertemu dan reunian di sana untuk kemudian ikut bergabung ke dalam barisan.

Pertemuan dengan Korek sendiri terjadi dua tahun yang lalu, tepatnya 2017 silam. Saat itu saya sedang melakukan solo hiking ke Gunung Salak. Di puncak, Korek dan beberapa temannya yang melihat saya datang sendirian agaknya cukup keheranan. Kami pun berkenalan. Obrolan hangat terjadi, kebetulan dia sedang membuat sebuah video tentang Gunung Salak, saya terlibat di dalam video itu. Sesudahnya kami pun memutuskan untuk segara turun oleh sebab hari yang semakin sore. Bukan tanpa alasan, kami semua kebetulan naik dengan menggunakan metode tektok, jelas kami tidak membawa peralatan camping, dan otomatis turun sebelum gelap adalah opsi yang harus kami ambil. Di perjalanan turun, kami kembali berbincang. Ternyata saya dan Korek memiliki kesamaan dalam hal referensi bacaan, buku Pejalan Anarki karya Jazuli Imam jadi bahan diskusi kami berdua selama perjalanan menuruni punggungan Salak waktu itu. Dan dari obrolan-obrolan itu pula, saya bisa mendapatkan gambaran besar tentang pribadi Korek; anak muda yang idealis.

Kami pun berpisah di Simpang Bajuri, karena Korek dan rombongannya memang datang dari arah Pasir Reungit, sedangkan saya naik lewat jalur Cidahu. Momen itu juga menjadi terakhir kalinya saya dan Korek bertemu.

Korek (kiri-bawah), Penulis (tengah-bawah), dan para pendaki lain di Puncak Manik Gunung Salak 2017 silam / Arsip pribadi penulis

Salak memang sudah menjadi semacam “rumah kedua” saya semenjak lulus dari bangku SMK. Gunung yang sukses menjadi tempat pelarian saya selama bertahun-tahun baik ketika sedang merasa kecewa, gagal, putus asa, kesal, marah, kasmaran, bahagia, berduka, sampai patah hati ini memang sangat berperan besar dalam mendewasakan saya. Sudah tak terhitung berapa kali saya ke sana, baik beramai-ramai, dengan kelompok kecil, ataupun sendirian. Musim hujan maupun musim kemarau, Salak selalu menjadi tempat favorit saya untuk sekadar menepi dari riuhnya kota dan berkontemplasi sejenak bersama diri sendiri. Suasana yang tenang oleh karena masih sedikitnya Pendaki yang datang ke sana adalah satu dari sekian alasan yang menjadikan Salak berbeda dari gunung-gunung lain, khususnya di Jawa Barat.

Kembali ke gedung KLHK Jakarta Timur, sesudah bertemu dengan Korek, menanyakan kabar dan bercerita panjang lebar, kami pun memutuskan untuk segera tidur, untuk keesokan paginya segera bergerak ke arah Senayan. Tak lupa sebelumnya kami menyalami Kang Kidung Saujana dan seluruh teman-teman dari Bandung, yang hampir tiga hari ini sudah berjalan kaki hingga akhirnya sampai di sini.

Keesokan harinya, kami semua segera bangun, bersiap-siap, dan segera berkumpul untuk melakukan briefing. Setelahnya kami langsung bergerak menuju ke arah Senayan, dengan diiringi sedikit orasi, sembari menyanyikan lagu Darah Juang, Buruh Tani, dan beberapa lagu-lagu perjuangan lainnya, akhirnya kami pun tiba di gedung utama KLHK.

Suasana haru segera menghampiri kami semua sesaat setelah melihat bahwa ternyata di sana telah terlebih dahulu tiba rombongan-rombongan lain dari Bandung dengan menggunakan bus-bus sewaan. Termasuk istri, anak, dan para keluarga dari teman-teman pejalan Bandung. Rupanya mereka sudah menunggu kami sedari tadi di sini. Suasana mendadak menjadi sangat sentimentil waktu itu, termasuk saya dan Korek, yang pada saat itu hanya bisa tersenyum sembari menyalami kawan-kawan yang baru datang dari Bandung dengan menggunakan bus tersebut.

Setelah saling melepas rindu, barisan pun kembali merapat. Kami mendekat ke arah gerbang kantor KLHK, di sana rupanya telah berjejer polisi yang bertugas untuk mengamankan jalannya acara, lengkap dengan senjatanya. Demonstrasi dimulai, satu persatu tokoh dipersilahkan untuk naik ke atas mobil yang telah dipersiapkan di depan gerbang, untuk selanjutnya berorasi, menyatakan sikap, keluhan, dan tuntutan-tuntutannya terhadap keberlangsungan nasib dari Cagar Alam Kamojang dan Papandayan.

Polisi yang sedang berjaga / Arsip pribadi penulis
Kawan-kawan pejalan yang sedang berunjuk rasa / Arsip pribadi penulis
Para pegiat alam yang sedang berorasi / Arsip pribadi penulis

Masyarakat terdampak, para pemimpin adat, dan tokoh-tokoh masyarakat bergiliran naik ke atas untuk kemudian bersuara dan menyampaikan pendapatnya. Setelahnya ada aksi teatrikal, nyanyian-nyanyian, pembacaan puisi, dan lain sebagainya.

Aliansi Pejalan mendesak agar Siti Nurbaya Bakar, selaku Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mau keluar sendiri dan bersedia berdialog dengan kami. Sempat terjadi ketegangan antara kami dan polisi yang menjaga gerbang pada waktu itu, namun hal tersebut dapat terhindarkan oleh sebab utusan dari KLHK yang segera datang dan mengajak beberapa dari kami untuk masuk dan berdialog dengan sang menteri di dalam. Ya, sang menteri rupanya tak mau keluar barang sebentar untuk sekadar menyambut tamu-tamunya yang telah rela berjalan kaki berpanas-panasan dari Bandung ke Jakarta dan lebih memilih untuk menunggu di dalam, di ruangannya yang nyaman dan ber-AC.

Marah dan kesal adalah apa yang kami rasakan pada waktu itu, namun atas nama kepentingan bersama, kami putuskan untuk mengesampingkan ego pribadi terlebih dahulu, semata-mata agar kami tak kehilangan tujuan dan tak melupakan substansi awal dari aksi yang kami lakukan.

Utusan dari Aliansi Pejalan pun masuk. Selagi menunggu, kami pun menyempatkan diri untuk beristirahat, sholat dzuhur, dan makan siang. Tak lama mereka keluar. Diketahui bahwa kedua belah pihak masih belum menemukan kata sepakat. Aliansi meminta untuk secepatnya dilakukan pembekuan, bahkan mencabut SK 25 yang dianggap lebih banyak menimbulkan mudharat daripada manfaatnya terhadap ekosistem di sekitar. Di lain sisi, pihak KLHK menyebut butuh waktu untuk bisa menyatakan keputusannya, sebab mereka perlu mendiskusikan persoalan ini dengan banyak pihak terkait terlebih dahulu. Jika pihak Aliansi menuntut KLHK untuk sesegera mungkin memberikan keputusan, maka dengan tegas mereka akan menjawab tidak bisa. Aliansi juga sama kerasnya, mereka menolak meninggalkan lokasi jika belum juga ada keputusan hari ini, bahkan Aliansi mengatakan akan terus bertahan, berorasi, dan mendirikan tenda-tenda darurat sebagai “rumah sementara” di depan gedung KLHK. Mereka akan terus melakukan hal itu, sampai dengan batas waktu yang tidak ditentukan!

Dialog alot pun berlanjut di dalam gedung, cukup lama kami menunggu, hingga tak terasa waktu mulai memasuki sore hari. Kawan-kawan aksi pun satu persatu mulai mendirikan tenda di depan pelataran gerbang gedung KLHK.

Waktu hampir maghrib ketika utusan dari pihak Aliansi keluar dan mengabarkan hasil dari dialog. Dikatakan bahwa belum ada kesepakatan dari kedua belah pihak hari ini, namun pihak KLHK berjanji bahwa besok mereka akan memberikan keputusannya, kami pun menerimanya.

Saya dan Korek memutuskan untuk pulang nanti malam dan tidak bisa menemani kawan-kawan pejalan sampai besok. Selain karena Korek yang punya jadwal shift malam hari ini, saya pun sudah dua hari ini mangkir kerja dan kuliah. Akan sangat berisiko kalau harus ditambah satu hari lagi.

Sebelum pergi, saya dan Korek kembali mengakrabkan diri dengan kawan-kawan pejalan dari berbagai daerah. Tak lupa kami bertukar nomor telepon dan akun media sosial, semata-mata agar kami semua tetap bisa saling terhubung dan saling berkabar di kemudian hari.

Suasana hangat yang terbangun di pelataran depan gedung KLHK malam itu benar-benar meninggalkan kesan mendalam buat saya. Di mata saya, mereka adalah sekumpulan orang-orang hebat, yang karena tergerak oleh rasa cinta dan solidaritasnya, mau datang jauh-jauh dan berkumpul di sini walau tak saling mengenal sebelumnya. Turut bergabung dalam lingkaran malam itu kawan-kawan dari Bandung yang menjadi pelopor aksi. Kepada kami, mereka banyak bercerita tentang jatuh bangun dari pergerakan ini.

Beberapa dari kami menanyakan motif dari kawan-kawan Bandung mengapa memilih untuk berjalan kaki dan tidak naik kendaraan saja, toh tujuannya sama. Mereka menjelaskan bahwa hal tersebut dimaknai sebagai refleksi dari perjalanan panjang pergerakan mereka yang tidak singkat. Terhitung sudah lebih dari lima tahun mereka bergerak menyelamatkan Danau Ciharus dan Cagar Alam Kamojang.

Selama kurun waktu itu juga, kampanye, sosialisasi, mediasi, dan penyadartahuan tentang fungsi Cagar Alam sudah mereka galakkan kepada masyarakat.

Long march menjadi manifestasi gerilya mereka untuk membangun kesadaran bersama tentang pentingnya menjaga Cagar Alam yang tersisa. Tak heran selama kurun waktu lima tahun pergerakan tersebut, pertemuan dan kehilangan adalah sesuatu yang biasa mereka temui ketika selesai melakukan sosialisasi. Sebagian setuju, namun tak sedikit yang menentang ide mereka untuk terus melestarikan Hutan Lindung agar tetap asri dan tak tersentuh tangan-tangan manusia. Bukan tanpa sebab, banyak masyarakat yang mengaku bahwa justru dari Hutan Lindung itulah mereka mendapatkan penghasilannya. Meninggalkannya, sama saja dengan tidak mendapatkan penghasilan sama sekali.

Tak terasa waktu telah menunjukkan jam sembilan malam, saya dan Korek pun bersiap-siap untuk pulang. Tiba-tiba ada rasa berat di hati kami berdua untuk pergi meninggalkan orang-orang ini. Ya, orang-orang yang baru saja kami temui tadi malam, sekarang justru terasa seperti orang-orang yang sudah kami kenali selama bertahun-tahun, ah.

Setelah menyalami Kang Kidung Saujana, saya dan Korek akhirnya pamit. Dalam hati, saya berdoa supaya besok kawan-kawan pejalan dapat memperoleh hasil dan kabar baik dari pihak KLHK sehingga bisa segera pulang ke Bandung. Perjalanan selama 3 hari dengan berjalan kaki sudah dirasa cukup menjadi bukti dari niat tulus dan rasa cinta mereka terhadap apa yang selama ini mereka perjuangkan.

Keesokan harinya, saya pun diberi kabar oleh kawan-kawan pejalan. Telah diputuskan bahwa pihak KLHK akhirnya menerima tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh pihak Aliansi di antaranya; KLHK akan segera membentuk tim kajian terpadu yang akan dan harus melibatkan masyarakat sekitar lokasi dalam penanganan kasus ini ke depannya, mereka juga akan melakukan evaluasi dan peninjauan ulang secara komprehensif terhadap pihak management terkait yang bertanggung jawab dalam mengelola kawasan Cagar Alam Kamojang dan Papandayan, selain itu pihak KLHK akan selalu memberikan update terbaru terkait perkembangan dari tuntutan-tuntutan pihak Aliansi sekaligus juga akan melakukan pembekuan sementara terhadap SK 25 sebelum izin pencabutan diresmikan.

Saya senang bukan main, itu artinya perjuangan teman-teman selama ini akhirnya membuahkan hasil.

Namun penting dan harus kita sadari bersama, bahwa di sini pihak KLHK hanya menyebut akan melakukan pembekuan sementara, dan bukan pencabutan. Adapun janji perihal evaluasi, peninjauan ulang, dan seterusnya dan seterusnya, boleh jadi hanyalah alasan dari mereka agar bisa “melarikan diri” dari tanggung jawabnya. Oleh karena itu, ke depan, penting untuk terus kita pantau perkembangan dari keputusan-keputusan tersebut.

Bersama, mari kita kawal terus perjuangan ini, Bung!

A luta continua! Panjang umur perlawanan! Hidup pejalan! Cagar alam harga mati!


Untuk apa punya presiden,
kalau bicaranya hanya deviden.
Untuk apa punya DPR,
kalau partai dianggap lebih primer.
Untuk apa punya menteri,
kalau sawah dicuri, petani dikebiri.

Untuk apa pembangunan,
kalau yang dibangun adalah kerusakan.
Untuk apa bela negara,
kalau negara sibuk membela
kota, raja, dan raksasa.

Untuk apa kuning, biru, putih, hitam,
untuk apa satu, dua, tiga, empat, lima, enam,
kalau ujung-ujungnya mereka bersalaman
dengan penambang, dengan penumbang
alam dan kemanusiaan.


Arsip pribadi penulis

Leave a comment