Catatan Ekspedisi – Titik Balik: Gunung Semeru

“Sebab banyak orang berjalan, tapi mereka tidak ke mana-mana.”


Oke, jadi kira-kira pada medio Juni lalu, bertepatan dengan hari libur lebaran, saya bersama dengan seorang sahabat, Tsabit, memutuskan untuk berangkat ke Malang dengan niat mendaki Gunung Semeru.

Persiapan perjalanan dan perlengkapan pun mulai kami diskusikan sejak H-7 keberangkatan. Hasilnya, diputuskanlah bahwa kami tak bisa langsung berangkat dari Jakarta, melainkan mesti berangkat dari stasiun Cirebon oleh sebab Tsabit yang harus merayakan Idul Fitri di rumah neneknya terlebih dahulu di daerah Tengguli, Brebes. Kami pun bersepakat untuk bertemu di sana.

Hari keberangkatan pun tiba, seusai melaksanakan Sholat Idul Fitri dan bersilaturahmi ke sana ke mari, sekitar jam 1 siang saya langsung berangkat menuju Terminal Bekasi.

Persiapan H-1 di rumah kontrakan

Di luar perkiraan, sesampainya saya di lokasi ternyata banyak dari bus-bus antar kota di sana yang sedang tidak beroperasi. Cukup lama saya kebingungan, sampai akhirnya setelah bertanya dan mencari informasi ke loket-loket di sekitaran terminal, akhirnya ada juga yang menawari saya sebuah mini bus untuk ditumpangi sebagai solusi alternatif. Itu pun kemungkinan akan sedikit ngaret dan tentunya; mahal.

Oleh sebab hari yang semakin sore, dan setelah melewati serangkaian proses negosiasi yang alot, saya dan sang sopir pun akhirnya menemukan kesepakatan harga.

Setelah bolak balik ke kamar mandi, makan, minum, makan, minum, berputar-putar, sampai dengan ketiduran di masjid sekitaran terminal, akhirnya jam 9 malam mobil pun berangkat dan mulai bergerak dari Bekasi menuju ke Brebes.

Menuju Brebes

Hari sudah tengah malam ketika saya sampai di Brebes. Setelah menelepon dan dijemput oleh Tsabit, saya segera meminta untuk diantarkan ke penginapan yang sudah saya pesan sebelumnya, yang baru di-reservasi tadi sore, ketika sedang menunggu di Terminal Bekasi.

Tsabit sendiri sebetulnya sudah menawari saya untuk menginap saja di rumah neneknya, namun setelah dipikir-pikir lagi, rasanya kurang sopan kalau saya mesti menginap di sana, apalagi di tengah suasana hari lebaran seperti ini, yang tentu saja seluruh keluarga besarnya bakal datang untuk berkumpul dan saling bersilaturahmi ke sana nantinya. Belum lagi bicara soal penampilan saya yang memang sedikit urakan pada waktu itu, jadilah saya tolak tawaran tersebut.

Setelah sampai di penginapan—Anggraeni Hotel Tanjung—saya pun segera melakukan check-in, kami pun berpisah di sana.

Tiba di Anggraeni Hotel Tanjung

Betul saja, keesokan harinya saya dikabari oleh Tsabit bahwa di rumah neneknya tersebut sedang sangat ramai oleh karena kedatangan dari sanak saudaranya. Ah, beruntung saya menyewa penginapan.

Ia juga mengabari bahwa seharian itu sepertinya bakal tidak bisa datang ke penginapan untuk mendiskusikan segala persiapan perjalanan kami karena kondisi di rumah neneknya tersebut. Saya pun memaklumi.

Malam harinya barulah Tsabit mampir ke penginapan, dengan wajah cengengesan dan tawanya yang meledak, ia pun meminta maaf sekaligus meledek saya di sana.

Meminta maaf; karena kesibukannya hari ini sehingga ia baru bisa datang sekarang. Meledek; karena kondisi saya waktu itu yang terlunta-lunta di ‘kampung orang’ dan mesti kebingungan seharian penuh, persis seperti ‘bocah ilang‘.

Brengsek memang.

Kami pun segera mendiskusikan segala persiapan dan perlengkapan untuk perjalanan besok. Setelah dirasa beres, kami memutuskan untuk langsung beristirahat agar tak kesiangan esok hari. Tsabit pun pamit pulang.

Keesokan harinya, saya segera bersiap. Ada kejadian lucu di sini, ternyata air di tempat saya menginap mati. Jadilah saya mesti ‘menumpang’ mandi terlebih dahulu di rumah neneknya Tsabit.

Ibarat pepatah bijak yang mengatakan; “yelah ujung-ujungnya ke mari-mari juga kan lu nyet.” :’D

Setelah siap, dan dengan disertai doa nenek yang oleh agama dan band Wali digadang-gadang sangat ampuh, tokcer, dan mustajab itu, kami akhirnya berangkat.

Hawa petualangan segera menghampiri kami berdua di sepanjang perjalanan menuju ke stasiun. Dua pemuda, menggendong tas besar, bercelana cargo dengan gelang berjejer di pergelangan tangan, ngemper di pinggir jalan sembari menunggu kendaraan menuju Cirebon, adalah sederet alasan yang membuat kami merasa ‘cool abiez‘ pada waktu itu. Sebuah kenangan masa muda yang kami rasa cukup pantas diceritakan kelak di masa tua.

Tsabit sendiri adalah teman saya sejak dari bangku SMK. Dan dari sekian banyak teman kami di sekolah waktu itu, hanya kami berdualah yang memiliki hobi pun antusiasme yang sama; berkegiatan alam.

Terhitung sudah banyak tempat/gunung kami jelajahi sebelum perjalanan kali ini. Mulai dari Salak, Prau, Batu, Lembu, Ciremai, Slamet, sampai dengan Merbabu.

Sesampainya kami di Stasiun Cirebon, Tsabit segera menuju ke mesin CTM untuk menukarkan tiket kereta api yang sebelumnya sudah kami pesan. Saya dan Tsabit sendiri nanti bakal duduk di gerbong terpisah. Suasana lebaran mengharuskan kami untuk ikut berebut tiket dengan para pemudik kemarin, yang akhirnya membuat kami hanya kebagian tiket sisa-sisa.

Setelah membeli snack, air minum, dan nasi bungkus untuk bekal selama di perjalanan, kami pun masuk ke dalam. Tak berselang lama, kereta kami pun tiba. Kami berdua pun segera menuju gerbong masing-masing. Petualangan kami pun dimulai.

Stasiun Cirebon Prujakan
Transit di Stasiun Pasar Turi Surabaya

Kami tiba di Malang sekitar pukul 1 malam. Lalu lalang pendaki mulai banyak kami temui ketika keluar dari kereta waktu itu. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami menyempatkan diri untuk makan nasi goreng terlebih dahulu di depan stasiun. Usai mengisi perut, kami kembali ke depan stasiun dan hendak mencari angkot menuju Tumpang. Di saat itulah kami berkenalan dengan seorang pendaki lain yang juga hendak menuju Tumpang. Ipan namanya.

Kami pun berkenalan, diketahuilah bahwa Ipan ternyata sudah memesan sebuah angkot, ia juga sudah mempunyai dua orang kenalan pendaki lain yang berasal dari Palembang dan sekarang sedang menunggunya di sebuah homestay di daerah Tumpang.

Setelah saling berdiskusi, saya dan Tsabit pun memutuskan untuk ikut ‘nebeng’ transport kepada Ipan dan kedua temannya tersebut, tentunya dengan meminta persetujuan dari mereka terlebih dahulu. Ipan sendiri memperbolehkan, namun ia juga menyarankan kami untuk izin kepada kedua orang kenalannya dari Palembang yang sekarang sedang menunggu di Tumpang. Maka berangkatlah kami menuju Tumpang dengan angkot yang sudah dipesan sebelumnya.

Setibanya di Tumpang, saya dan Tsabit langsung berkenalan dengan kedua teman dari Ipan. Namanya Denise dan Ican. Mereka berdua ternyata juga dengan senang hati memperbolehkan kami untuk ikut ‘nebeng’ sampai ke Ranupani besok, bahkan mereka juga menawari kami berdua untuk beristirahat dan tidur di homestay-nya malam ini. Saya dan Tsabit jelas menerimanya.

Esoknya, setelah sarapan dan mengecek ulang segala perlengkapan, kami berempat pun berangkat.

Persiapan menuju Ranupani
Sesi ‘foto keluarga’ (Penulis – Tsabit – Ipan – Denise – Ican)

Perjalanan ke Ranupani memakan waktu sekitar 2 jam lebih dengan rute menanjak. Di sepanjang perjalanan kita akan disuguhi oleh pemandangan jurang dan ladang-ladang nan indah di sebelah kanan, dan Bromo di sisi kiri. Kami sempat berhenti sejenak untuk beristirahat, melihat-lihat pemandangan, dan tentunya mencicipi pun menghirup udara pagi Bromo Tengger Semeru, ah.

Menuju Ranupani
Suasana di dalam mobil
Pemandangan di sisi kiri jalur
Berfoto dengan latar pemandangan sekitar

Perjalanan kami lanjutkan lagi dengan jalan yang terus menanjak. Beberapa kali klakson mobil kami berbunyi ketika sedang berpapasan dengan mobil/motor yang berisikan para pendaki lain, yang semakin menambah mesra suasana waktu itu.

Menjelang dzuhur rombongan kami pun tiba di Ranupani, pos pertama dalam rangkaian pendakian Gunung Semeru. Udara dingin mulai terasa di sana, kabut tipis muncul malu-malu di sekitaran kami. Di pos ini juga para pendaki bakal terlebih dahulu mengurus registrasi pendakian, briefing, dan melengkapi berbagai perlengkapannya sebelum memulai perjalanan.

Sekitar jam 2 siang, kami berlima mulai bergerak. Di depan gapura selamat datang, kami berdiri melingkar dan berdoa. Usai berfoto bersama, pendakian kami menuju Puncak Mahameru pun resmi dimulai.

Sesi ‘foto keluarga’ di depan gerbang selamat datang

Estimasi pendakian dari Ranupani menuju Ranu Kumbolo sendiri sekitar 5-6 jam. Kami berlima berjalan dengan santai, bahkan cukup ‘konsisten’ untuk selalu break setiap 10 menit sekali, haha.

Jalur ke Pos 1 terbilang cukup landai, bahkan masih ramah kendaraan seperti motor. Jalurnya berupa tanah padat dan paving yang hampir di telan tanah.

Di Pos 1 kami berhenti agak lama, kebetulan saat itu hujan mulai turun. Jadilah kami berteduh di sana menunggu hujan reda sembari beristirahat. Pos 1 sendiri berupa area datar dengan sebuah pondokan serta warung. Letaknya tepat di belokan jalur pendakian.

Berteduh di Pos 1

Melanjutkan perjalanan menuju Pos 2, kami kembali melewati jalur setapak yang melipir bukit. Treknya juga tak jauh berbeda dengan jalur menuju Pos 1, masih terbilang cukup landai.

Di Pos 2 kami kembali beristirahat. Pos 2 juga masih sama seperti Pos 1, berupa area datar di belokan jalur dengan warung-warung yang menghiasinya.

Saya, Tsabit, dan Ipan sedikit demi sedikit mulai terbiasa dengan beban yang kami bawa, ritme pendakian pun mulai kami temukan. Lain halnya dengan Denise dan Ican, mereka berdua tampak kesulitan dan sangat kelelahan. Di perjalanan menuju Pos 3 mereka bahkan sempat mengalami kram kaki, kami pun beristirahat cukup lama di sana. Cuaca yang kurang bersahabat waktu itu juga semakin mempersulit perjalanan kami.

Waktu sudah hampir gelap ketika kami mulai berjalan lagi. Tak berapa lama hujan pun mulai turun dengan derasnya, kondisi lelah ditambah dengan trek yang becek membuat langkah kami semakin berat dan lambat. Berulang kali kami harus terpeleset dan mesti berhenti. Denise dan Ican mulai kehilangan semangatnya, namun kami terus menyemangati agar keduanya mau terus berjalan. Apalagi di saat kondisi sedang seperti itu, akan sangat berbahaya kalau kami sampai berlama-lama berdiam diri.

Perjalanan pun kami lanjutkan, setelah berjalan dengan terus diguyur hujan berat selama hampir 2 jam, kami pun akhirnya tiba di Pos 3. Suasana di Pos 3 waktu itu benar-benar sangat ramai, para pendaki nampak memadati seluruh titik yang bisa dijadikan tempat berteduh dan menghangatkan badan. Bahkan sebagian sudah ada yang mendirikan tenda sampai-sampai menutupi jalan.

Denise dan Ican tampak sudah mencapai batasnya. Saya, Tsabit dan Ipan mulai berbasa-basi dengan para pendaki di dalam shelter agar mau sedikit berbagi ruangan dengan kedua teman kami yang sedang kelelahan dan kedinginan itu. Mereka pun mempersilakan.

Sedangkan saya, Tsabit, dan Ipan sendiri tetap berada di luar dengan menggunakan jas hujan. Kondisi lelah, suasana malam yang gelap, serta air hujan yang terus menerus menghantam tubuh kami waktu itu akhirnya memaksa kami bertiga untuk mengambil sebuah keputusan.

Diputuskanlah bahwa Ipan akan berjaga di sini menemani Denise dan Ican yang sedang kelelahan, sekaligus menunggu sampai hujan sedikit reda. Ditambah masih ada sedikit ruang di sekitaran shelter jika hanya untuk satu orang, jadi Ipan akan bisa berteduh di sana selagi menunggu Denise dan Ican kembali pulih. Sementara Saya dan Tsabit akan melanjutkan perjalanan untuk mendirikan tenda terlebih dahulu di Ranu Kumbolo, sebab akan sangat berbahaya bagi kami berdua jika mesti berdiam diri di sana dengan terus diguyur air hujan malam hari. Kami bersepakat untuk bertemu kembali di Ranu Kumbolo.

Setelah saling bersalaman, saya dan Tsabit pun segera melanjutan perjalanan. Trek menuju Pos 4 sendiri ternyata jauh lebih curam, kondisi gelap dan hujan juga semakin mempersulit perjalanan kami waktu itu. Namun karena kami cuma berdua, agak lebih mudah bagi kami untuk mengatur ritme pendakian kala itu.

Kami akhirnya tiba di Pos 4. Dari sini sudah bisa terlihat kerlap kerlip lampu tenda di seberang sana. Kami memutuskan untuk tak terlalu lama beristirahat dan segera melanjutkan perjalanan. Area camping di Ranu Kumbolo sendiri terbagi menjadi dua, sisi timur dan sisi barat. Keduanya dipisahkan oleh sebuah bukit kecil. Oleh karena kondisi kami yang sudah kelelahan waktu itu, kami akhirnya memutuskan untuk mendirikan tenda di area camping terdekat, yakni sisi timur.

Sesampainya di sana, kami segera mencari lahan untuk mendirikan tenda. Sesudahnya kami segera mengeluarkan perlengkapan dan perbekalan untuk kemudian memasak. Selagi memasak, saya dan Tsabit bergantian mengecek ke luar, barangkali Ipan, Denise, dan Ican sudah sampai.

Cukup lama kami menunggu, namun mereka bertiga masih belum juga terlihat. Setelah berjuang melawan rasa kantuk, kami berdua akhirnya ketiduran oleh karena kelelahan.

Esoknya, kami segera bangun. Kami mulai memasak untuk bekal sebelum melanjutkan perjalanan. Kami berencana untuk naik langsung ke Kalimati, pos terakhir sebelum ke puncak. Tak lupa kami berkeliling mencari keberadaan Ipan cs, namun mereka tak ada di sana. Kami menyimpulkan bahwa mereka langsung mendirikan tenda di sisi barat.

Seberes makan, kami langsung membongkar tenda dan merapihkan perbekalan-perlengkapan. Usai berdoa, perjalanan pun kami lanjutkan.

Tenda kami
Partner in crime
Tsabit yang tengah merapihkan perbekalan
Suasana sisi timur Ranu Kumbolo / Nampak di kejauhan jalur menanjak yang mengarah ke Pos 4

Di sisi barat Ranu Kumbolo, kami akhirnya bertemu kembali dengan partner pendakian kami sebelumnya, Ipan, Denise, dan Ican. Mereka nampak tengah asyik berfoto di muka tenda. Melihat kami datang, Ipan langsung berteriak dan menghampiri kami berdua.

Mereka rupanya memang sampai cukup telat semalam, alhasil kami tak sempat saling bertemu. Di sini mereka juga menyatakan niatannya untuk tak melanjutkan perjalanan dan cukup sampai di Ranu Kumbolo dan Oro-oro Ombo saja. Kondisi fisik dari Denise dan Ican yang tak memungkinkan membuat mereka tak berani untuk melanjutkan perjalanan.

Cukup lama kami mampir di tenda mereka untuk mengobrol dan sarapan pagi bersama. Matahari pun mulai terik, saya dan Tsabit akhirnya memutuskan untuk segera beranjak. Usai berfoto dan saling bersalaman, kami berdua pun izin pamit untuk melanjutkan perjalanan.

Tiba di sisi barat Ranu Kumbolo
Bertemu kembali dengan rombongan Ipan cs

Meninggalkan Ranu Kumbolo, kami langsung berhadapan dengan Tanjakan Cinta. Lokasinya persis berada di belakang Ranu Kumbolo. Tanjakan ini terkenal akan mitosnya dalam melanggengkan sebuah hubungan. Caranya, cukup dengan tidak menoleh ke belakang selama kita mendaki tanjakan ini. Masalah benar tidaknya, itu dikembalikan kepada pribadi masing-masing.

Tanjakan Cinta Gunung Semeru

Setelah melewati Tanjakan Cinta, kami diperhadapkan dengan sebuah padang maha luas, Oro-oro Ombo namanya. Di sini tumbuh tanaman Verbena Brasiliensis Vell yang sering disangka Bunga Lavender oleh kebanyakan pendaki. Padahal keduanya jelas berbeda, Bunga Verbena sendiri merupakan tanaman yang bersifat invasif yang sebenarnya bisa membahayakan keseimbangan dari ekosistem Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Meski demikian, pesona hamparan bunga-bunga ungu ini masih tetap menjadi daya tarik tersendiri di jalur pendakian Gunung Semeru.

Dari Oro-oro Ombo, kami menuju Cemoro Kandang. Untuk ke sana terdapat dua buah jalur. Jalur bawah, melewati hamparan Bunga Verbena, dan jalur atas yang melipir di sisi bukit. Bagi yang hendak menuju puncak, biasanya akan melalui jalur sebelah bawah, sedangkan jalur atas sendiri biasa dipakai oleh para pendaki yang hendak turun menuju Ranu Kumbolo.

Menuju Oro-oro Ombo
Melewati hamparan Bunga Verbena

Kami akhirnya tiba di Cemoro Kandang. Cemoro Kandang sendiri memiliki area yang sangat luas dan rindang. Lokasi ini menjadi salah satu favorit pendaki untuk berteduh dan melepas lelah setelah sebelumnya melewati trek terbuka Oro-oro Ombo yang terik.

Di sini juga terdapat beberapa pedagang yang menjual minuman dan makanan seperti nasi uduk, gorengan dan buah-buahan. Khusus yang terakhir, buah-buahan, saya bisa menjamin kalau semangka Semeru punya rasa yang tak kalah nikmat dengan semangka Slamet. Ukurannya yang besar dan rasanya yang manis bakal sukses membuat siapa pun yang melihatnya pasti menelan ludah.

Cemoro Kandang / Dalam kepercayaan Hindu, kawasan dataran tinggi Tengger adalah tanah hila-hila, tanah yang disucikan, dengan Mahameru sebagai puncaknya. Oleh sebab itu, Gunung Semeru merupakan salah satu gunung yang disucikan dan disakralkan oleh para masyarakat Hindu Bali pun Hindu Tengger. Lambang kesucian dan kesakralan tersebut ditandai dengan terdapatnya kain-kain doa dan kain putih yang diikatkan di batang-batang pohon di sepanjang jalur pendakian menuju Puncak Mahameru

Usai cukup beristirahat di Cemoro Kandang, kami segera melanjutkan perjalanan. Kali ini kami bakal menuju Pos Jambangan, perjalanan ke pos ini bisa dibilang merupakan yang terberat dari rangkaian pendakian kami, hanya satu level di bawah perjalanan menuju Puncak Mahameru.

Dari Cemoro Kandang, vegetasi mulai tertutup. Pepohonan besar dan tinggi bakal mendominasi dengan trek yang bakal terus menanjak tanpa ‘bonus’ sampai di Jambangan. Tenaga kami benar-benar terkuras di sini, di jalur ini pulalah tercatat kami paling banyak berhenti untuk beristirahat. Namun seperti halnya ketika melihat Ranu Kumbolo, setibanya di Jambangan, kami langsung kembali bersemangat ketika di depan kami nampak Mahameru yang tengah berdiri gagah berselimut awan sore.

Menuju Jambangan

Kami segera melanjutkan perjalanan menuju Kalimati. Perjalanan menuju Kalimati bisa dibilang cukup menyenangkan. Jalur perlahan-lahan menurun sehingga tidak ada lagi jalur menanjak. Setelah berjalan selama kurang lebih 1 jam, kami akhirnya sampai di Pos terakhir, Kalimati.

Menuju Kalimati / Nampak di depan kami Semeru yang berdiri gagah
Jalur menuju Kalimati

Tidak sama seperti di Ranu Kumbolo, di Kalimati sumber air letaknya agak jauh. Kalau di Ranu Kumbolo kami hanya perlu berjalan tak sampai semenit untuk mengambil air, di Kalimati kami mesti berjalan selama 30 menit untuk mengambil air di Sumber Mani. Jika ditotal, maka perjalanan bolak-balik bakal ditempuh selama sekitar 1 jam.

Waktu pengambilan airnya pun terbatas karena Sumber Mani tidak hanya menjadi sumber mata air bagi para pendaki, tetapi juga bagi hewan-hewan liar yang ada di Semeru. Oleh sebab itu, tidak dianjurkan mengambil air lebih dari pukul 18:00 WIB.

Untuk urusan BAK dan BAB di Kalimati juga agak sulit, sebab di sini tak tersedia toilet basah seperti di Ranu Kumbolo, di Kalimati hanya terdapat toilet kering, yang itu pun bisa dibilang sudah tidak terurus. Kondisi yang cukup miris mengingat Gunung Semeru merupakan salah satu gunung terfavorit dan paling banyak pengunjungnya di pulau Jawa.

Di Kalimati, kami mempersiapkan fisik sebaik mungkin sebelum ‘muncak’. Setelah mendirikan tenda dan mengambil air, kami segera memasak kemudian makan untuk mengisi ulang tenaga. Kami berencana untuk mulai naik jam 1 malam. Selepas makan, kami berdua pun segera tidur untuk mengistirahatkan badan.

Bersantai menikmati pemandangan di muka tenda
Semeru yang berselimut awan sore

Tepat jam 12 malam kami mulai bangun. Sayang, cuaca malam itu nampak tak bersahabat. Gerimis dan angin mulai berdatangan. Di kejauhan awan pekat berarak pun mulai mendekat ke arah kami. Setelah sarapan dan menghangatkan badan, saya dan Tsabit mulai bersiap-siap.

Kami berdua pun mulai bergerak naik. Oleh karena cuaca saat itu yang sedang buruk, nampak hanya ada beberapa kelompok pendaki yang memutuskan untuk muncak malam itu, termasuk kami berdua.

Trek dari Kalimati menuju puncak sendiri bakal sangat curam, dengan kemiringan yang hampir 90 derajat. Saya dan Tsabit sebetulnya sudah tak terlalu kaget dengan trek semacam ini, kami sendiri sudah sering mendaki ke Gunung Salak yang mempunyai medan hampir serupa. Yang menjadi kendala terbesar kami malam itu justru adalah kondisi cuacanya yang parah, bahkan bisa dibilang ‘mengerikan’.

Di sepanjang perjalanan, satu persatu kelompok pendaki yang naik mulai nampak mengurungkan niatnya untuk melanjutkan perjalanan ke atas. Kelompok-kelompok yang berada di depan kami pun sudah mulai terlihat putar arah. Di Kelik (batas vegetasi) saya dan Tsabit akhirnya berhenti sejenak untuk berdiskusi dan beristirahat.

Waktu itu hanya ada kami dan 2 kelompok pendaki lain di sana, sisanya sudah turun. Sementara 2 kelompok ini mulai mendaki punggungan lereng Semeru, saya dan Tsabit masih ragu-ragu di bawah. Kami berdiskusi apakah akan melanjutkan perjalanan ke puncak atau tidak, sebab melihat kondisi waktu itu yang berbahaya, rasanya akan terlalu berisiko kalau kami tetap melanjutkan perjalanan.

Celakanya, ego kami menang. Kami berdua akhirnya memutuskan untuk terus naik di tengah hujan badai malam itu dan mengekor di belakang 2 kelompok sebelumnya yang sudah terlebih dahulu naik.

Benar saja, kejadian yang tak kami harapkan pun terjadi. Di tengah jalur menuju puncak, kami (3 kelompok) akhirnya mesti berhenti. Oke, di sini akan saya coba gambarkan bagaimana kondisi pada saat itu.

Kami (3 kelompok) terjebak di tengah-tengah jalur menuju puncak, yang mana di situ merupakan trek terbuka (lereng gunung) berupa pasir dan bebatuan yang mudah runtuh jika diinjak. Di sisi lain, kami mesti berhadapan dengan hujan besar, angin kencang, dan juga petir. Situasi ekstrem tersebut memaksa kami untuk bertahan dan saling merapatkan tubuh dengan menempel di salah satu batu yang cukup besar. Untuk menghalau terpaan angin dan hujan, kami menggunakan alat-alat seadanya seperti jas hujan dan fly sheet yang dibentangkan dengan setiap ujungnya kami pegangi menggunakan tangan masing-masing, sementara kami berlindung di bawahnya. Rasa cemas/takut pun mulai kami rasakan di momen-momen itu. Kami terjebak di sana, sebab kami tak mungkin lanjut naik, dan untuk turun pun kami tak bisa. Jalur ke bawah saat itu sudah tertutup kabut dan hujan deras, ditambah angin kencang dan petir. Buat saya pribadi, momen tersebut bisa dibilang sebagai momen paling ‘horor’ selama 22 tahun saya hidup. Bahkan kalau boleh saya mengakui, mungkin di momen itulah saya/kami semua nyaris mati.

Rasa lelah dan udara dingin juga semakin membuat mental kami ciut malam itu, harapan kami hanya ada pada pagi hari. Kami berharap semoga di pagi hari nanti cuaca bakal membaik dan jalur mulai bisa terlihat lagi. Kami akhirnya mesti berani bertarung dengan udara dingin, hujan badai dan petir kala itu, terhitung mulai dari sekitar jam 3 sampai dengan jam 6 pagi. Total 3 jam kami bertahan di situasi ekstrem tersebut dengan hanya bermodalkan fly sheet dan kompor-kompor portable untuk menghangatkan badan di dalam.

Badai di tengah jalur menuju puncak (foto diambil dari balik fly sheet)
Di dalam, kami meringkuk berdempetan. Kami menggunakan kompor portable untuk menghangatkan badan dan melawan udara dingin

Kami habiskan setiap detiknya dengan berdoa dan saling menyemangati, yang ada di kepala saya sendiri waktu itu hanya ada satu; takkan lagi saya biarkan ego mengalahkan akal sehat saya dalam mengambil keputusan. Tidak akan.

Menjelang pagi, sekitar jam setengah enam, hujan badai pun mulai mereda, petir juga tak terdengar lagi. Dari balik kabut kami juga mulai dapat melihat sinar matahari, walau sinarnya tetap tak dapat menembus ke dalam dan hanya berupa sebuah bayang-bayang jika dilihat dari tempat kami.

Kami tentu tak mau melewatkan momen tersebut, sesegera mungkin kami beberes dan beranjak dari sana dan mulai meluncur ke bawah. Lamanya kami duduk membuat keseimbangan kami agak terganggu sehingga membuat kami sedikit sempoyongan ketika sedang berlarian turun. Beberapa kali kami bahkan tersungkur dan berguling di sepanjang perjalanan turun, beruntung kami semua selamat sampai di Kelik (batas vegetasi) waktu itu.

Dari Kelik kami mulai agak tenang, sebab kini jalur sudah lebih tertutup, setidaknya risiko terkena angin kencang dan petir tidak akan separah seperti di atas tadi. Namun tetap saja, kondisi kami semua yang sudah kelelahan membuat perjalanan turun ke Kalimati menjadi terasa begitu berat. Saya bahkan sempat mengalami momen yang cukup sentimentil di sini.

Oleh karena rasa lelah dan kantuk yang parah, saya akhirnya mulai berjalan dengan tergesa-gesa, mungkin lebih ke grasak-grusuk. Pada suatu momen, tas selempang saya mesti tersangkut dan akhirnya mesti terjatuh ke arah jurang yang lumayan dalam oleh karena gerakan saya yang grasak-grusuk tersebut. Saya yang sudah diselimuti rasa lelah dan malas pun berniat untuk meninggalkan tas tersebut dan terus melanjutkan perjalanan. 10 menit berjalan, saya akhirnya berhenti. Di kepala saya tiba-tiba mulai berputar memori dan kenangan-kenangan lama yang telah saya lalui bersama dengan tas selempang tersebut. Tas yang telah menemani saya dalam banyak fase kehidupan, dari mulai masa sekolah, lulus, bergonta-ganti tempat kerja, pun selama perjalanan-pendakian saya. Tas tersebutlah yang menjadi teman saya kala di angkot yang sempit dan apak, berdesak-desakan di kereta, di kapal laut, di bus antar kota, bahkan sering menjadi alas tidur/bantal saya baik itu di dinginnya lantai minimarket, terminal, stasiun, pun tempat-tempat ibadah di masa-masa backpacker-an saya dulu.

Meninggalkannya di sini, sama halnya seperti saya tega meninggalkan sesuatu yang sudah teramat berjasa dalam perjalanan hidup saya. Orang mungkin bakal bilang, “halah, itu kan cuma tas!”, ya memang. Memang ini cuma sekadar tas. Tapi kalau untuk yang cuma ‘sekadar’ seperti ini saja saya tega meninggalkannya dan tak mau bertanggung jawab, bagaimana nanti saya bakal menjaga sesuatu yang nilainya jauh lebih besar daripada cuma ‘sekadar’? Entah itu keluarga, pun cita-cita.

Sebab, bukankah memang itu esensi dari sebuah perjalanan? Untuk mendewasa dan terus belajar. Sehingga ada nilai yang bisa kita ambil dari sana untuk kemudian menjadi bekal kehidupan kelak.

Saya akhirnya berbalik dan memungut kembali tas tersebut. Dari tas ini saya banyak melakukan kesalahan sebelumnya, namun dari tas ini pula saya banyak belajar setelahnya.

Usai bergumul dengan pikiran-pikiran tersebut, saya pun mulai melanjutkan perjalanan turun ke Kalimati, dengan sebuah kesadaran baru, pun menjadi pribadi yang baru.

Sesampainya di Kalimati, cuaca sudah mulai agak baikan. Yang pertama saya dan Tsabit lakukan jelas tidur dan mengistirahatkan badan. Cukup lama kami tertidur, sampai akhirnya menjelang tengah hari kami pun terbangun.

Setelah bangun, kami mulai memasak dan makan siang. Sesudahnya kami segera merapihkan segala perlengkapan dan bersiap untuk turun.

Pemandangan dari dalam tenda usai bangun tidur
Cuaca yang mulai membaik saat tengah hari
Mengabadikan momen
Tenda-tenda para pendaki di kaki lereng menuju puncak
Rombongan pendaki yang sedang melakukan briefing
Bersiap-siap turun

Setelah dirasa semuanya sudah beres, saya dan tsabit pun mulai berdoa. Tak lupa kami sedikit berfoto dan mengabadikan momen di sana. Sebelum mulai bergerak, sekali lagi saya menoleh ke arah Puncak Mahameru, sebagai tanda hormat dan salam perpisahan dari saya.

“Mungkin saat ini belum berjodoh, lain kali saya coba lagi. Semoga diizinkan singgah di sana.” Batin saya kala itu.

Di perjalanan turun, kami berjalan cukup santai. Cuaca saat itu juga sudah mulai membaik. Kami berdua berencana untuk mampir ke tendanya Ipan dkk setibanya di Ranu Kumbolo nanti, kemudian turun bersama-sama.

Menuju Ranu Kumbolo bersama dengan rombongan pendaki lain
Melewati Oro-oro Ombo
Pemandangan dari atas Tanjakan Cinta
Pesona Ranu Kumbolo
Berfoto dengan latar Ranu Kumbolo (1)
Berfoto dengan latar Ranu Kumbolo (2)

Sesampainya di Ranu Kumbolo, kami segera menuju ke tenda Ipan. Rupanya mereka sudah tidak ada di tempat. Kami menyimpulkan bahwa mereka sudah lebih dulu turun. Wajar saja, saya dan Tsabit memang cukup siang berangkat dari Kalimati tadi. Kami baru berangkat selepas waktu dzuhur, tak heran kalau Ipan, Denise, dan Ican sudah terlebih dahulu berangkat.

Kami pun melanjutkan perjalanan. Perjalanan turun menuju Ranupani kami tempuh selama kurang lebih 5 jam dengan berjalan santai. Menjelang isya, kami akhirnya tiba di gerbang selamat datang.

Sisi timur Ranu Kumbolo yang mulai nampak sepi sore itu
Pemandangan-perjalanan menuju Ranupani (1)
Pemandangan-perjalanan menuju Ranupani (2)

Saya dan Tsabit memutuskan untuk menginap di sekitaran Ranupani malam itu, dan baru pulang keesokan harinya.

Hari berikutnya, kami segera bersiap-siap turun. Usai menemukan teman untuk diajak ‘patungan’ menyewa sebuah mobil hardtop, kami pun berangkat dan meninggalkan Ranupani.

Persiapan turun menuju Tumpang (pose muka beruk)

Di Tumpang, kami lanjut menaiki angkot tujuan Terminal Arjosari, Malang. Di tengah perjalanan, kami menerima pesan dari Ipan, ia mengatakan sedang berada di Terminal Arjosari. Kebetulan sekali, kami juga sedang menuju ke sana.

Setibanya di lokasi, Ipan langsung menyambut kami. Ia sendiri rupanya sedang menunggu bus tujuan Temanggung. Ia juga menceritakan bahwa semalam ia menginap di homestay-nya Denise dan Ican di Tumpang. Mereka turun dari Ranu Kumbolo lebih awal oleh karena mengejar jadwal penerbangan Denise dan Ican ke Palembang tadi pagi. Makanya kemarin mereka buru-buru turun agar bisa beristirahat lebih lama dan bersiap-siap terlebih dahulu di Tumpang.

Puas bercakap-cakap di luar terminal, kami pun masuk ke dalam. Saya dan Tsabit sibuk mencari bus ke arah Jakarta, saya akui memang tak sulit mencari bus tujuan Jakarta di sana, namun mencari yang harganya pas di kantong, itu yang susah. Maklum saja, kami berdua memang bukan termasuk ke dalam golongan pendaki ‘sultan’. Namun meski low budget, setidaknya kami pendaki yang low profile. Dan terpenting, kami bukan low quality person, hehe.

Tak berselang lama, datanglah seseorang yang menawari kami sebuah mini bus tujuan Jakarta dengan harga yang relatif murah. Kemungkinan calo, tapi calo dari luar terminal. Setelah menimbang-nimbang, kami berdua pun akhirnya setuju. Saya dan Tsabit memutuskan untuk menunggu di dekat loket mini bus tersebut yang berada di luar terminal. Kami pun akhirnya berpamitan dan berpisah dengan Ipan di sana.

Di dekat loket, selagi menunggu, saya banyak melakukan perenungan-perenungan. Begitu banyak pelajaran yang saya dapatkan dari pendakian kali ini. Seperti tak mau kehilangan momentum tersebut, entah kenapa, tiba-tiba muncul keinginan saya untuk melanjutkan perjalanan ini. Kebetulan saat ini saya juga sedang “nganggur” dan tak memiliki tanggung jawab apa-apa di kota. Nah, selagi punya waktu luang, kenapa tidak saya manfaatkan saja dengan sebaik-baiknya? Sebab akan sulit mendapatkan momen seperti ini lagi jika nanti saya sudah terikat kembali dengan rutinitas dan tanggung jawab pekerjaan di kota.

Berangkat dari lamunan tersebut, saya akhirnya membulatkan tekad. Sementara Tsabit sedang bersukacita karena bakal segera kembali ke rumah; tempat yang orang-orang menyebutnya sebagai yang ternyaman di dunia, saya justru malah sebaliknya.

Usai sibuk berimaji menimbang-nimbang destinasi, akhirnya diputuskanlah ke mana saya akan kembali pergi.

Rinjani.


Leave a comment