Filsafat Kritis – Sebuah Perenungan: Milenial Menggugat Akal

Di zaman yang semakin maju seperti saat ini, perbudakan akali memang selalu lebih kejam dibandingkan dengan perbudakan ragawi, itulah setidaknya yang disampaikan oleh Kattsoff dalam bukunya yang populer, Pengantar Filsafat.

Mengapa? Sebab ketika seseorang hanya diperbudak secara ragawi, orang tersebut setidaknya masih bisa berpikir bebas tanpa batas. Karena perbudakan ragawi takkan mampu memperbudak kebebasan berpikir. Sebaliknya, jika seseorang sudah diperbudak secara akali, maka otomatis secara ragawi orang tersebut juga akan gampang untuk diarahkan dan dituntun semaunya. Di sinilah letak dari pentingnya selalu membudayakan tradisi berpikir kritis, sebab dialektika berperan besar dalam ‘menyehatkan’ dan menjaga kewarasan dari sebuah pikiran-pemikiran.

Berpikir kritis sendiri sudah sedari lama menjadi bagian dari sejarah umat manusia. Catatan paling awal menyebutkan bahwa Socrates menjadi orang yang pertama kali memperkenalkannya. Sebagaimana yang ditulis oleh muridnya, Plato, seorang filsuf besar lain dari Yunani.

Kala itu, pernah suatu kali Socrates terlibat adu mulut dengan satu atau lebih lawan bicara mengenai permasalahan etika; salah satunya menyoal tentang pertanyaan apakah benar bagi Socrates untuk melarikan diri dari penjara. Di situ Socrates menekankan kepada semuanya tentang pentingnya mencari bukti terlebih dahulu, memeriksa penalaran dan asumsi dengan cermat, menganalisis konsep dasar, dan menelusuri implikasi tidak hanya dari apa yang dikatakan tetapi juga dari apa yang dilakukan.

Ia menyoroti perlunya berpikir guna kejelasan dan sebuah konsistensi logis. Dia juga mengajukan pertanyaan terbalik kepada orang-orang di situ untuk mengungkapkan pun menjelaskan pemikiran irasional yang mereka semua yakini. Pada akhirnya, Socrates di sana menunjukkan dan membuktikan bahwa memiliki otoritas dan kebercukupan tidak selalu menjamin seseorang/kelompok tersebut memiliki pengetahuan yang akurat dan lebih baik dibandingkan dengan yang lain.

Berbicara mengenai berpikir kritis memang tidak akan lepas dari ilmu filsafat. Lalu, apa sebenarnya filsafat itu? Dan apa hubungannya dengan tradisi berpikir kritis? Sebelum masuk ke pembahasan tersebut, perlu kiranya terlebih dahulu kita memahami arti dan makna dari filsafat itu sendiri.

Menurut Bung Hatta, sulit untuk memahami definisi dari kata filsafat, sebab ia bukanlah sesuatu yang absolut. Karena setiap orang yang mempelajari filsafat pasti akan berakhir pada kesimpulan yang berbeda-beda, tergantung dari proses pembelajaran, pengalaman, dan pemahaman yang mereka alami dan rasakan dalam prosesnya. Terbukti banyak dari para tokoh filsuf maupun ahli filsafat yang memaknai filsafat dengan cara yang berbeda-beda. Namun, terlepas dari perbedaan penafsiran dari berbagai tokoh filsuf tersebut, tentunya perlu bagi kita untuk mengetahui bagaimana sejarah awal sampai akhirnya muncul kata filsafat, pun bagaimana dinamika yang terjadi setelahnya.

Kata filsafat sendiri berasal dari bahasa Yunani, yang mulanya terdiri dari dua kata. Yakni philos (cinta) dan shopia (kebijaksanaan). Dari dua kata tersebut dapat dimaknai bahwa filsafat adalah ‘mencintai kebijaksanaan’. Lantas dari mana atau bagaimana filsafat kemudian bisa menjadi populer? Dalam sejarah dijelaskan bahwa pada masa sebelum masehi, tepatnya sebelum Pythagoras mengungkapkan hal tersebut, ‘shopia‘ dalam arti kebijaksanaan, ternyata sudah dikenal luas oleh masyarakat pada waktu itu.

Adalah mereka, para ‘Kaum Sofis’ yang terlebih dahulu memperkenalkan ‘shopia‘ kepada masyarakat kala itu. Mereka yang terkenal lihai dalam beretorika ini, lantas juga menyatakan dirinya sebagai pemilik penuh dari ‘kebijaksanaan’ tersebut kepada masyarakat. Sikap mereka inilah yang pada akhirnya ditentang keras oleh Pythagoras dan kawan-kawannya. Karena mereka meyakini bahwa pemilik dari kebijaksanaan mutlak hanyalah Tuhan semata. Sementara kita sebagai manusia, dalam rangka mencapai hal tersebut, hanya bisa berusaha dengan terus belajar dan mencintai kebijaksanaan. Dari seteru dua kubu inilah, filsafat akhirnya lahir.

Dalam pengertian yang lain, filsafat juga dikenal sebagai sebuah metode berpikir radikal-sistematis. Artinya, filsafat adalah sebuah metode berpikir secara mendalam mengenai sesuatu sampai ke akar-akarnya dengan argumentasi yang logis dan tersusun. Sehingga terciptalah argumentasi yang kuat dalam mencari suatu kebenaran. Filsafat di sini sama dengan berusaha mengetahui/memahami sesuatu dengan cara melihat sebuah permasalahan dari berbagai perspektif. Sehingga terjadi pemahaman yang utuh terhadap sesuatu yang ingin dipahami. Inilah kemudian yang digunakan oleh para filsuf generasi awal dalam mempertanyakan keberadaan segala sesuatu.

Yunani sendiri pada saat itu masih sangat mempercayai kebenaran dari sebuah mitos. Orang-orang Yunani pada mulanya mempercayai bahwa petir dan kilat lahir oleh karena ulah para dewa yang sedang marah di langit. Seperti pelangi yang juga dianggap oleh sebagian besar masyarakat kita dahulu sebagai pertanda dari kemunculan bidadari yang sedang mandi, dan lain sebagainya. Mitos-mitos seperti inilah yang akhirnya mendorong Thales; sang bapak filsafat, untuk mempertanyakan tentang apa sebenarnya ‘arché’ atau dasar dari segala sesuatu.

Setelah Thales, banyak filsuf-filsuf dari Miletos dan Ionia yang melanjutkan pertanyaan-pertanyaan kritis semacam itu. Contohnya seperti Anaximandros, Anaximenes, Pythagoras, dan banyak filsuf alam lainnya yang mulai ikut tergerak untuk mempertanyakan tentang keberadaan alam raya ini.

Zaman berganti, figur dan tokoh yang dikenal bijak bestari pun lahir dan mati silih berganti. Sementara filsafat sendiri semakin berekspansi melahirkan cabang-cabang ilmu pengetahuan baru. Begitu seterusnya, sampai akhirnya revolusi industri di Britania Raya pun muncul dan mencapai puncaknya, yang akhirnya juga melahirkan apa yang sekarang kita semua kenal dengan lema/terminologi; modernitas.

Tradisi berpikir kritis yang seperti itulah kiranya yang perlu dibangun kembali saat ini. Di zaman yang serba canggih seperti sekarang, modernitas tentu menjelma bak pisau bermata dua. Selain menawarkan sebuah kemajuan, ia juga berpotensi menjadi sumber kemunduran dari satu generasi. Di tengah banjir informasi dan majunya teknologi seperti saat ini, tentu perlu kiranya kita semua memiliki kemampuan selektif untuk dapat memilah dan memilih kebenaran dari sebuah informasi. Sebab tanpa kemampuan tersebut, besar kemungkinan kita akan menjadi pribadi yang mudah terkecoh, buta substansi, dan tak mampu menangkap motif dari sebuah agenda tersembunyi.

Jika ini berhasil kita lakukan, maka tentu ke depan akan lahir manusia-manusia baru yang bukan hanya sekadar bisa membeo dan manggut-manggut saja atas semua kebijakan dan informasi yang disodorkan kepada mereka, namun manusia-manusia baru yang mempunyai daya kritis, tidak apatis, dan memiliki resistensi terhadap ‘kabar dengkul’ dari arus informasi yang merupakan hasil produk media dewasa ini.

Dengan begitu, maka akan muncul sebuah generasi yang mampu menggunakan akalnya untuk berpikir secara maksimal dan tepat guna. Sehingga terciptalah masyarakat yang melek politik-ekonomi-literasi, punya kecerdasan intelektual, dan mampu hidup bersinergi dalam harmoni.

“Cogito ergo sum”, ujar Descartes.

Karena (kita) berpikir, maka (kita) ada.


Leave a comment