Arsip Perjalanan – Gunung Papandayan Garut

Pendakian kali ini berawal dari sebuah pesan WhatsApp yang masuk ke ponsel saya dari seorang sahabat bernama Aji. Saya sendiri mulanya agak keheranan, sebab Aji sendiri bukanlah orang yang senang berkegiatan alam, sepengetahuan saya.

Usut punya usut, rupanya ia berencana untuk mendaki ke Papandayan dengan kedua orang teman kerjanya yang lain. Saya yang dianggap paham dan sering berkegiatan luar ruang olehnya pun diajak dengan maksud untuk “menemani” mereka di sepanjang perjalanan nanti.

Pada awalnya saya merasa ragu untuk mengiyakan ajakan darinya. Ada beberapa alasan yang mendasari niatan saya untuk menolak tawaran tersebut di antaranya:

Pertama, Papandayan sebagai tujuannya. Saya sendiri kurang begitu tertarik dengan destinasi mereka. Papandayan, sebagaimana yang kita tahu adalah sebuah gunung yang ‘turis banget‘. Pergi ke sana sama halnya seperti berwisata. Sementara ‘berwisata’ sendiri bukanlah alasan utama saya ketika hendak melakukan sebuah pendakian. Ada misi dan hal penting lain dalam sebuah perjalanan yang ingin saya cari dan temukan, yang jauh lebih dalam dari hanya sekadar ‘berwisata’.

Kedua, Papandayan sendiri terkenal sebagai gunung yang sangat “expensive” untuk ukuran pendaki lokal. Dari mulai perjalanan menuju ke lokasi, persiapan mendaki, sampai dengan perizinan simaksi kita akan selalu diperhadapkan dengan uang, uang, dan uang. Entahlah, bisa jadi itu benar, atau mungkin hanya sekadar opini pribadi saya yang memang mempunyai segudang sinisme terhadap sistem dan tata kelola kepengurusan dari gunung-gunung di daerah Jawa Barat yang kadung terkenal materialistik. Yang mana hal tersebut jelas memberatkan para pendaki/pejalan, terlebih buat saya yang lebih sering “menggembel” dan mengedepankan sikap guyub dan “duduk bareng” ketika sedang di perjalanan.

Ketiga dan yang paling utama, Papandayan saat ini dikelola oleh pihak swasta, dan statusnya sendiri terancam akan diturunkan dari yang tadinya adalah Cagar Alam menjadi Taman Wisata Alam. Komersialisasi inilah yang saat ini sedang dilawan dan diperjuangkan oleh kawan-kawan pejalan-pegiat lingkungan dari @saveciharus dan @sadarkawasan.

Namun setelah menimbang-nimbang kembali dengan sedikit mengesampingkan idealisme tadi, saya pun akhirnya menerima tawaran tersebut. Bukan tanpa sebab, saya sendiri termasuk orang yang sangat mempercayai ‘kekuatan’ dari sebuah perjalanan. Dan dengan ikut “menyukseskan” acara mereka besok, siapa tahu perjalanan—lewat saya—akan mampu memantik sesuatu dari dalam diri mereka, entah itu sebuah kesadaran baru, mimpi-mimpi baru, harapan, kecintaan terhadap alam, ataupun sebuah dorongan untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi daripada sebelumnya.

Singkat cerita, setelah berkenalan dengan kedua orang teman dari Aji yang bernama Evan dan Odi di Terminal Bekasi, kami pun berangkat menuju Garut. Sesampainya di lokasi, kami segera bersiap-siap. Usai sarapan, kami langsung menuju ke gerbang selamat datang untuk memulai pendakian.

Terdampar di Simpang Nagreg / Perjalanan menuju Garut
‘Foto keluarga’ di depan gerbang pendakian Gunung Papandayan

Dari basecamp (Camp David) kami berempat mulai berjalan dengan santai, setelah 15 menit berlalu, kami mulai memasuki trek yang berupa bebatuan vulkanis putih kekuningan. Di sepanjang perjalanan, pemandangan akan dihiasi oleh uap-uap putih yang sesekali dipadu dengan suara sulfur yang mendidih dari lubang kawah.

Trek awal yang masih didominasi oleh jalanan beraspal
Jalur yang mulai berubah menjadi bebatuan vulkanis / Nampak di kiri jalan kawah dari Gunung Papandayan
Mengabadikan momen

Setelah melakukan perjalanan selama kurang lebih 1 jam, kami akhirnya tiba di Pos 7. Pos 7 sendiri merupakan sebuah lokasi yang cocok dijadikan tempat untuk beristirahat. Di sini juga terdapat fasilitas seperti WC umum dan warung. Dari sini akan ada 2 jalur bercabang, ke kiri adalah jalur yang langsung menuju Hutan Mati, sementara ke kanan adalah jalur menuju Pondok Salada yang merupakan area camping.

Beristirahat sejenak di Pos 7

Seberes beristirahat, kami pun melanjutkan perjalanan. Kami memilih jalur kanan oleh karena kami yang memang sedari awal berniat ke Pondok Salada.

Setelah berjalan sekitar 1,5 jam, kami berempat akhirnya tiba di Pos 9 (Ghober Hoet). Di sini kami kembali beristirahat sejenak. Ci Odi dan Koh Evan sendiri nampak sibuk membeli dan makan jajanan-jajanan di sekitaran warung seperti siomay dan cilok. Sementara saya dan Aji asik berbincang-bincang.

Usai beristirahat, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Pondok Salada. Hanya memakan waktu sekitar 15 menit untuk kami sampai di Pondok Salada. Setibanya kami di sana, kami segera mendirikan tenda di lokasi yang sudah ditentukan sebelumnya oleh pihak pengelola.

Tiba di Pondok Salada (camp area)
Girang bener!
Makan bos!
Ci Odi yang entah lagi ngapain di dalem 🙂

Malam harinya kami mengalami sedikit kejadian lucu. “Bagas” (Babi Ganas) Gunung Papandayan yang seukuran anak sapi dan sudah sangat terkenal itu pun akhirnya keluar dan menunjukkan batang hidungnya. Beliau ((BELIAU)) mulai menyatroni tenda-tenda dan mengacak-ngacak persediaan logistik para pendaki. 3 ekor anjing yang sudah dipersiapkan untuk menjaga area tersebut juga tak bisa berbuat banyak dan tak mampu menahan pergerakan dari sang Bagas.

Situasi tersebut sontak membuat suasana area camping menjadi sangat meriah waktu itu. Para pendaki mulai grasak-grusuk mengamankan perbekalannya dengan cara menggantungkannya di atas pohon. Suara teriakan dan pukulan alat-alat masak dari para pendaki pun mulai saling bersahut-sahutan, yang bertujuan untuk menakut-nakuti dan mengusir si Bagas ketika hendak melancarkan aksinya.

Kalimat-kalimat amoral cenderung ngelantur semacam, “babi banget nih babi!”, “emang kayak anjing nih babi!”, “babi goblok!” pun satu persatu mulai keluar dari mulut para pendaki malam itu. :’D

Usai melewati malam yang penuh teror tersebut, keesokan harinya kami pun bangun dan segera bersiap-siap untuk turun. Aji sendiri dan kedua temannya memang hanya berniat ‘camping ceria’ dan tak tertarik menuju Tegal Alun dan Puncak Papandayan sedari awal.

Persiapan turun / (Aji – Ci Odi – Koh Evan – Penulis)

Setelah semua siap, kami berempat mulai bergerak menuju Hutan Mati. Perjalanan ke sana kami tempuh selama sekitar 30 menit. Di sana, kami berhenti sejenak untuk beristirahat dan mengabadikan momen.

Pemandangan Hutan Mati Gunung Papandayan yang sedang berkabut
Bertemu dengan pendaki lain dan berakhir dengan sesi ‘foto keluarga’ bersama

Setelah puas menikmati pesona Hutan Mati, kami pun segera melanjutkan perjalanan. Sesampainya di basecamp, kami berempat beristirahat sejenak dan menyempatkan diri untuk sarapan di warung terlebih dahulu. Setelahnya kami langsung bersiap-siap turun ke Terminal Guntur dan pulang menuju Jakarta.


Leave a comment